Salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap muslim adalah malu, yakni malu bila melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Hal ini karena, bila kita dan anggota masyarakat lainnya telah memiliki rasa malu seperti ini, maka tidak akan ada penyimpangan yang dilakukan, termasuk terhadap ketentuan baik yang telah disepakati sesama manusia. Begitu penting sifat malu sehingga hal ini menjadi salah satu cabang yang tidak bisa dipisahkan dengan iman. Ini berarti keimanan seseorang perlu kita pertanyakan apabila pada dirinya tidak ada perasaan malu. Rasulullah Saw bersabda: Malu itu cabang dari iman” (HR. Bukhari).
TIGA BENTUK MALU
Dalam kehidupan manusia, paling tidak malu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling berkaitan. Pertama, malu kepada diri sendiri, yakni malu kepada martabat pribadi dengan segala kedudukan, gelar atau sebutan yang kita sandang, sebagai apapun kita. Kalau kita disebut muslim, itu berarti kita seharusnya menjadi orang yang tunduk dan patuh kepada Allah Swt dengan segala ketentuan-Nya dan kita sangat malu bila tidak bisa tunduk kepada Allah. Bila kita disebut suami, tentu seharusnya kita malu manakala melakukan hubungan seksual dengan wanita yang bukan isteri kita. Bila kita disebut bapak, seharusnya kita punya perasaan malu bila tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kita. Bila kita menjadi pejabat atau pemimpin, maka kita malu bila tidak bisa memberi pelayanan yang terbaik kepada orang yang kita pimpin, bahkan bila kita diberi amanat, maka kita akan sangat malu bila mengkhianatinya, begitulah seterusnya. Dengan kata lain, bila kita memiliki rasa malu terhadap diri kita sendiri, maka kita akan selalu menjaga nama baik atau citra diri sehingga kita tidak akan merusaknya. Karena itu, orang yang tidak memiliki rasa malu terhadap dirinya sendiri harus diwaspadai, sebab kalau ia telah merusak citra dirinya sendiri, sangat mungkin baginya untuk merusak citra orang lain, citra organisasi, bahkan citra negara .
Malu pada diri sendiri sangat mendasar, karena meski orang lain tidak tahu bila penyimpangan dilakukannya, ia justeru menjadi saksi atas dirinya sendiri terhadap penyimpangan yang dilakukan, bahkan siap membeberkan kesalahan itu dihadapan Allah Swt sebagaimana terdapat dalam firman-Nya: Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan (QS 36:65).
Kedua, malu kepada orang lain, yakni malu bila kesalahan yang dilakukan diketahui oleh orang lain, karenanya daripada kesalahan atau dosa yang dilakukan diketahui oleh orang lain, ia merasa lebih baik tidak melakukannya. Bukan malah ia lakukan dosa tapi ia menjadi malu bila hal itu diketahui oleh orang lain lalu berusaha menyembunyikan kesalahannya itu dengan berbagai cara meskipun dengan melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya, ini merupakan sesuatu sangat berbahaya. Orang seperti ini akan mengalami kegelisahan jiwa sehingga hal ini akan membawa pengaruh yang negatif bila seseorang menjalani kehidupan dalam kondisi jiwa yang gelisah. Suami dan bapak yang gelisah tentu sangat berbahaya bagi keluarganya, apalagi bila anggota legislatif dan pemimpin yang gelisah, maka hal itu akan mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya. Rasulullah Saw bersabda: Dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan hati seseorang, ia tidak setuju bila hal itu diketahui oleh orang lain (HR. Ahmad).
Disamping itu, seseorang yang malu atas dosa yang dilakukannya tapi tetap berbuat dosa adalah membahayakan orang lain, ia tidak segan-segan membunuh orang yang membongkar aibnya itu dan dalam kehidupan berjamaah bisa jadi ia akan menyingkirkan orang-orang yang memiliki idealisme.
Bentuk malu yang Ketiga adalah malu kepada Allah Swt, yakni malu karena ia sudah mengakui Allah Swt sebagai Tuhannya, tapi berani melanggar ketentuan Allah dengan anggapan Allah tidak mengetahuinya, padahal sebenarnya Allah Swt Maha Tahu terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, Allah berfirman: Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu prasangkamu yang telah kamu duga terhadap Tuhanmu. Prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi (QS 41:22-23).
Untuk itulah, setiap muslim harus memiliki sifat malu kepada Allah yang sebenar-benarnya, malu yang ditunjukkan dimana saja, kapan saja dan dalam situasi serta kondisi yang bagaimanapun juga, bukan hanya malu untuk menyimpang ketika berada di masjid dan sejenisnya, tapi seseorang tidak malu-malu untuk melakukan penyimpangan di pasar, di kantor dan sebagainya, Rasulullah Saw bersabda: Malulah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar malu (HR. Tirmidzi).
JANGAN MEMALUKAN
Orang yang memiliki sifat malu tentu tidak akan bersikap dan bertindak yang memalukan, baik memalukan dirinya, keluarganya, jamaahnya hingga bangsanya. Sikap dan tindakan yang memalukan adalah bila bertentangan dengan nilai-nilai idealisme yang selama ini justeru diperjuangan. Ketika “Bersih dan Peduli” menjadi semboyan perjuangan untuk memperoleh kursi dan kekuasaan, lalu hal itu sudah diperoleh tapi ternyata tidak bersih dan tidak peduli terhadap kepentingan dakwah dalam arti yang luas yakni tegaknya nilai-nilai kebenaran Islami, maka hal ini menjadi akan sangat memalukan, bahkan menjadi beban sejarah yang amat berat untuk dipikul serta menjadi trauma dalam upaya menegakkan nilai-nilai kebersihan dan kepedulian itu.
Bila kita masih memiliki sifat malu tentu kita tidak akan melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan bila terlanjur salah, maka orang yang malu akan mau mengakui kesalahan itu dan menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah sesuai dengan tingkat kesalahan, bukan malah melindungi, menutup-nutupi apalagi bersekongkol dalam kesalahan. Namun bila rasa malu ini sudah tidak lagi dimiliki oleh manusia, ia bisa melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya, dalam satu hadits yang berasal dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshari Al Badri dinyatakan: Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah dikenal orang dari ungkapan kenabian yang pertama adalah: Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendak hatimu (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk selalu memperkokoh rasa malu, karena tidak ada kejelekan sedikitpun dari sifat malu ini sehingga Rasulullah Saw bersabda: Malu itu seluruhnya baik (HR. Bukhari dan Muslim).
Akhirnya, menjadi penting bagi kita untuk terus memantapkan rasa malu dalam kehidupan kita sebagai seorang muslim sehingga aktivitas kita selalu mengarah pada kebaikan dan memberi manfaat yang besar bagi orang lain.(era)