ABU AL-FARAJ IBNU AL-JAUZI
Nama lengkap beliau adalah Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ubaidillah al-Baghdadi al-Hanbali rahimahullah dengan kunyah Abul Faraj. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat yang mulia Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallohu‘anhu. Beliau dilahirkan sekitar tahun 510 H. Adz-Dzahabi berkata, ‘ayahnya wafat saat dia berusia tiga tahun, lalu dia dipelihara bibinya, kemudian ketika mulai besar bibinya membawanya kepada Ibnu Nashir, lalu memperdengarkan banyak hal kepadanya.
Di usia belianya, dia dikenal sebagai sosok yang gemar menuntut ilmu meski harus meninggalkan kebiasaan bermain dan bersenda gurau. Selain itu, dia pun dikenal juga sebagai seorang pemuda dengan kemampuan menghafal yang sangat luar biasa dan memiliki kematangan berfikir pada usia dini. Beliau pernah berkata, “Aku adalah seorang yang telah diberi kecintaan kepada ilmu sejak kanak-kanak, lalu aku menyibukkan diri dengannya. Kemudian aku tidak diberi kesukaan kepada satu disiplin ilmu saja, tapi semua disiplin ilmu.
Beliau berkata di dalam kitabnya Shaidul Khatir, II:329, “Barangsiapa menghabiskan masa mudanya untuk ilmu, maka pada masa tuanya nanti ia akan memuji hasil dari apa yang telah ia tanam. Dia akan menikmati hasil karya yang telah ia himpun. Dia tidak akan menggubris hilangnya kenyamanan fisik yang ia alami, setelah ia melihat kelezatan ilmu yang telah ia raih. Di samping itu, ia juga merasakan kelezatan saat mencarinya, yang dengannya ia berharap mendapatkan apa yang ia inginkan. Bahkan, bisa jadi berbagai upaya untuk mendapatkan ilmu tersebut lebih terasa nikmat daripada hasil yang telah ia raih.
Abu Abdillah Ibnu ad-Dubaisi mengatakan dalam tarikhnya: syaikh kami, Jamaluddin, adalah penulis banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu berupa tafsir, fikih, hadits, tarikh dan selainnya, kepadanyalah berpuncak pengetahuan hadits, ulumul hadits, mengetahui shahih dan dhaifnya, dia adalah di antara orang yang paling bagus pembicaraannya dan paling sempurna susunannya, paling lembut lisannya dan paling bagus bicaranya.
Abu Ma’tuq Mahfudz bin Ma’tuq bin al-Buzairi dalam tarikhnya mengatakan, “Dia menguasai berbagai ilmu, Karyanya mencapai lebih dari 340 karya, antara 20 jilid hingga beberapa lembar buku. Di antara karya tulis beliau adalah: Zad al-Masir, kitab tafsir Al-Qur’an, Maudluat Kubra, kitab kumpulan hadits-hadits palsu,Talbis Iblis, Minhajul Qashidin, sebuah kitab revisi atas kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, Shaidul Khatir, dan yang lainnya. Beliau pernah berkata,’ dengan kedua jari ini aku telah menulis buku 2.000 jilid, 100.000 orangtelah bertaubat lewat kedua tanganku dan 20.000 orang masuk Islam lewat kedua tanganku.
Selain menulis banyak karya, majelis beliau juga banyak dihadiri oleh para penuntut ilmu, bahkan majelisnya dihadiri oleh para raja, menteri, khalifah dan juga para imam dan pembesar. Jumlah mereka mencapai ribuan. Dan nasihat-nasihat yang dia sampaikan itu tentu tidak akan pernah bisa didengar oleh orang-orang yang hadir, kecuali dengan bantuan para “penyambung lidah”.
Dr. Muhammad Luthfi ash-Shabbagh mengatakan, “Ibnu Al-Jauzi memiliki akhlak mulia dan kesungguhan mendominasinya sejak masa kecilnya. Dia adalah orang yang sangat tenang, tidak bercanda kepada seorangpun, tidak main-main serta berlaku wara’. Mereka menyebutkan bahwa dia tidak makan sesuatu yang belum jelas kehalalannya sampai wafat. Dia mengkhatamkan al-Qur’an setiap pekan, dia melaksanakan solat malam dan nyaris tidak pernah putus dari mengingat Alloh. Dia tumbuh di atas iffah dan keshalihan. Beliau berkata, “sejak permulaan usia muda aku diberi ilham untuk menempuh jalan para ahli zuhud dengan senantiasa melakukan puasa dan shalat, serta aku diberi kesenangan untuk berkhalwat. Aku memiliki hati yang baik dan mata hatiku tajam. Hal itu membawaku hingga sebagian pemimpin memuji kata-kataku. Hal itu membuatku cenderung kepadanya, lalu tabiat menjadi menyimpang, hingga kemanisan itu hilang, lalu yang lain membuatku cenderung dan aku lebih berhati-hati bergaul dengannya dan mengikuti kemauannya, karena takut syubhat.”
Beliau banyak sekali memiliki kata mutiara di antaranya beliau berkata, “Manusia tidak diuji sama sekali dengan yang lebih besar daripada ketinggian kemauannya, orang yang tinggi kemauannya akan memilih perkara-perkara yang luhur.”
Ibnu al-Jauzi sakit selama lima hari, dan wafat pada malam Jum’at 13 Ramadhan 597 H, dalam usia 87 tahun. Orang-orang sangat cemas mendengar kabar kematiannya sampai pasar-pasar pun ditutup. Masjid jami pada hari itu penuh sesak oleh orang-orang yang hendak menyolatan jenazahnya. Jenazah beliau dimakamkan di samping kuburan ayahnya dan berdekatan dengan makam Imam Ahmad.