IMAM AN-NAWAWI AD-DIMASYQI
- Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain an-Nawawi ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Damaskus yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau juga diberi gelar Muhyiddin (orang yang menghidupkan agama). Meskipun sebenarnya beliau menolak gelar tersebut akan tetapi orang-orang hingga saat ini seolah sulit melepaskan gelar itu dari beliau, disebabkan jasa beliau yang sangat besar dalam menghidupkan sunnah Nabi shalallohu ‘alaihi wasallam dan mematikan berbagai macam bentuk bid’ah.
- Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesolihan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh. Beliau bercerita suatu hari beliau dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun beliau menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Ternyata beliau lebih memilih untuk membaca al-Qur’an. Ketika usia 19 tahun ayahnya membawanya ke damaskus, lalu Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Setiap hari beliau membaca 12 pelajaran di hadapan para masyayikh, mulai dari belajar syarh, tashhih, fikih, hadits, ushul, nahwu, bahasa dan yang lainnya hingga beliau menguasainya. Alloh telah memberkahi umurnya yang sedikit, dan memberikan kepadanya ilmu yang banyak.
- Di antara sikap wara’nya adalah beliau tidak mau makan buah-buahan Damaskus, dengan alasan karena adanya syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana. Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya kepada kepala Madrasah. Beliau menggunakan banyak waktu dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara menulis surat berisi nasihat untuk mereka. Bahkan beliau diusir dari Damaskus oleh penguasa saat itu, disebabkan menolak memberi fatwa yang diinginkan oleh mereka, sehingga kemudian beliaupun kembali ke kampung halamannya di Nawa hingga akhir hayatnya. Al-Yunini mengatakan: yang membuatnya lebih unggul dibandingkan orang-orang sejawatnya dan orang yang lebih faqih darinya ialah banyak berzuhud di dunia, dan besar ketaatanya serta sikap wara’nya.
- Murid beliau Ibnu Al-Athar mengatakan, “Guru dan teladanku, imam yang memiliki banyak karya yang berguna dan terpuji, orang nomor satu dan orang yang tiada duanya pada zamannya, ahli puasa dan ahli qiyamul lail, orang yang berzuhud di dunia, orang yang menginginkan akhirat, orang yang berakhlak baik, dan kebaikan-kebaikan sunnah. ‘Alim rabbaniy yang disepakati keilmuan, keimanan, kebesaran, kezuhudan, sikap wara’, ibadah dan memelihara dalam kata-kata, perbuatan dan keadaanya, dia memiliki karomah yang besar dan kemuliaan yang jelas. Dia memberikan diri dan hartanya untuk kaum muslimin, melaksanakan hak-hak mereka dan hak para pemimpin dengan nasihat dan doa demi kebaikan mereka di alam semesta, di samping apa yang telah dilakukannya berupa mujahadah untuk dirinya. Dia meneliti ilmunya dan semua keadaanya, menghafal hadist rasululloh, mengetahui semua cabangnya berupa shahihnya dan dho’ifnya, lafalnya yang ghorib dan maknanya yang shahih, dan menggali fikihnya, menghafal madzhab asy-syafi’i, kaidah-kaidahnya, ushul dan furu’nya, madzhab-madzhab sahabat dan tabiin, perselisihan ulama dan kesepakatannya, ijma’ mereka dan suatu yang masyhur dari semua itu.”
- Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab. Semua kitabnya mendapatkan penerimaan dan ridha dari semua orang, dan semua ahli ilmu menimba dari mata airnya. Di antara karya-karya beliau adalah: Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim). Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’. Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat. Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
- Pada tahun 676 H. beliau kembali ke kampung halaman-nya di Nawa. Beliau lalu jatuh sakit dan akhirnya wafat pada malam Rabu tanggal 24 Rajab (tahun 676 H). Ketika kabar wafatnya tersiar, seantero Damaskus dan sekitarnya menangisi kepergian beliau. Kaum muslimin benar-benar merasa kehilangan sosok Imam An-Nawawi. Banyak di antara para muridnya dan ulama yang menulis syair-syair ritsa (syair syair kesedihan).
Salah satu nya adalah seperti yang ditulis oleh murid beliau al-Khalal, dan awal baitnya adalah,
Ulama besar lagi diberi taufik telah pergi
Kami kembali bingung, dan air mata terus mengalir
Semoga Alloh selalu mencurahkan rahmat yang luas kepada beliau, Amiin.