Rezeki Tak Selalu Soal Uang

Banyak dari kita tumbuh dengan satu pemahaman yang tanpa sadar mengakar kuat di hati: rezeki itu uang. Ketika penghasilan naik, kita merasa Allah sedang sayang. Ketika dompet menipis, kita buru-buru menyimpulkan bahwa rezeki sedang seret. Padahal, Islam sejak awal telah mengajarkan bahwa rezeki jauh lebih luas daripada angka yang tersimpan di rekening.

Ada orang yang hartanya sederhana, tetapi tidurnya nyenyak setiap malam. Ada yang penghasilannya pas-pasan, namun rumahnya penuh tawa dan saling pengertian. Ada pula yang hidupnya tak pernah kekurangan materi, tetapi hatinya selalu gelisah, relasinya rusak, dan jiwanya lelah. Jika rezeki hanya uang, mengapa ketenangan dan kebahagiaan tidak selalu hadir bersamanya?

Allah sendiri yang menegaskan bahwa rezeki itu beragam bentuknya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

“Tidak ada satu pun makhluk melata di bumi melainkan Allah-lah yang menjamin rezekinya.”
(QS. Hud: 6)

Ayat ini tidak mengatakan bahwa semua makhluk dijamin kaya, tetapi dijamin rezekinya. Dan jaminan Allah tidak pernah sempit. Rezeki bisa berupa kesehatan yang membuat kita masih bisa sujud tanpa rasa sakit. Rezeki bisa berupa waktu luang untuk berkumpul dengan keluarga. Rezeki bisa berupa teman yang tulus, nasihat yang datang tepat saat kita hampir salah langkah, atau hati yang masih mampu menangis dalam doa.

Sering kali kita tidak sadar bahwa Allah telah memberi begitu banyak, hanya karena pemberian itu tidak berbentuk uang. Kita mengeluh kurang rezeki, padahal pagi hari masih bisa menghirup udara dengan dada yang lapang. Kita merasa hidup berat, padahal Allah masih menjaga iman di tengah derasnya godaan. Kita merasa tertinggal, padahal Allah sedang menyelamatkan kita dari jalan yang sebenarnya membahayakan.

Rasulullah ﷺ pun mengingatkan bahwa kekayaan sejati bukanlah banyaknya harta. Beliau bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini seolah menampar lembut cara pandang kita. Bisa jadi yang perlu kita perbaiki bukan jumlah penghasilan, tetapi cara hati memaknai pemberian Allah. Sebab hati yang kaya akan selalu merasa cukup, sedangkan hati yang miskin akan selalu merasa kurang, berapa pun yang ia miliki.

Ada kalanya Allah meluaskan rezeki berupa materi, dan itu adalah nikmat yang patut disyukuri. Namun ada kalanya Allah menyempitkan harta, bukan karena murka, melainkan karena Dia ingin memberi rezeki dalam bentuk lain: kedekatan dengan-Nya, pelajaran tentang sabar, atau perlindungan dari kesombongan yang tak kita sadari.

Ketika kita mulai memahami bahwa rezeki tidak selalu soal uang, hidup menjadi lebih tenang. Kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Kita berhenti merasa gagal hanya karena standar dunia. Kita mulai belajar bersyukur atas hal-hal kecil yang selama ini terlewat: doa yang masih mengalir, iman yang masih terjaga, dan harapan yang belum padam.

Mungkin hari ini Allah belum memberi kita banyak harta. Tapi jika Dia masih memberi kita iman, kesehatan, dan hati yang mau bersandar kepada-Nya, sesungguhnya kita masih termasuk orang-orang yang kaya. Kaya dengan rezeki yang tidak semua orang miliki, dan kaya dengan nikmat yang sering kali baru disadari ketika telah hilang.

You cannot copy content of this page