Terdapat banyak hadis dengan potongan teks atau redaksi “Puasa Adalah Perisai”, namun diantara teks hadis yang paling popular ada dua yaitu:
Pertama: HR Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ (1099), Imam Bukhari dalam
Shahihnya (1894), dan Imam Muslim dalam Shahihnya (1151), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
Artinya: “Puasa itu adalah perisai, maka apabila seorang dari kalian sedang melaksanakan puasa, janganlah dia berkata rafats (kotor) dan jangan pula bertingkah laku jahil (sepert mengejek, atau bertengkar sambil berteriak). Jika ada orang lain yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka hendaklah dia mengatakan “Aku orang yang sedang puasa, Aku orang yang sedang puasa”. (Ini redaksi dari riwayat Imam Malik).
Kedua: Dalam hadis dengan redaksi panjang, HR Ahmad (5/231), Tirmidzi (2616), dan Ibnu Majah (3973) dari Mu’adz radhiyallahu’anhu, diantara potongan redaksi hadis tersebut adalah:
Artinya: “…Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, shadaqah itu memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api…”.
Dalam berbagai kitab syarah hadis, para ulama telah memberikan pandangan tentang makna perisai dalam konteks hadis puasa ini, bahkan dari atsar dan ucapan para salaf, kita bisa mendapati makna dan arti kata “perisai” dalam hadis puasa ini. Setidaknya ada tiga makna perisai yang mereka sebutkan dalam hadis-hadis yang mereka syarah dan jelaskan, penulis akan menyebutkannya satu persatu –insya Allah- lengkap dengan alasan dan hujjah akan makna tersebut. Selamat menyimak.
Pertama: Puasa adalah perisai, bermakna bahwa puasa tersebut menjadi tameng/benteng bagi orang yang berpuasa dari perbuatan keji dan amalan yang tidak layak dengan ibadah puasa.
Dalih makna perisai yang satu ini adalah:
1.Karena diisyaratkan oleh redaksi hadis setelahnya sebagaimana dalam hadis Abu Hurairah diatas, yaitu : “maka apabila seorang dari kalian sedang melaksanakan puasa, janganlah dia berkata rafats (kotor) dan jangan pula bertingkah laku jahil (sepert mengejek, atau bertengkar sambil berteriak).” Ini menunjukkan bahwa perisai tersebut adalah agar ia terhalangi dari ucapan rafats (kotor), perbuatan jahil, serta maksiat lainnya. (lihat: Al-Masaalik Fi Syarh Muwaththa’ –Ibnul’Arabi Al-Maliki :
4/236).
2.Ibnul-Mulaqqin berkata: “Ia adalah perisai dari dosa-dosa… karena puasa tersebut memupuskan syahwatnya, dan melemahkan kekuatan (nafsunya untuk bermaksiat)”. (At-Taudhih Syarah Al-Jami’ Ash-Shahih : 13/19).
3.Puasa adalah perisai dari maksiat dan dosa-dosa sebagaimana perisai menjadi tameng seseorang dari bidikan anak panah. (Syarh Al-Misykaat –Ath-Thiiby 5/1575).
Senada dengan ini, Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “…puasa menghalangi seseorang dari maksiat ketika didunia, sebagaimana firman Allah ‘Azza Wa Jalla: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183)”. (Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam: hal.576).
Kedua: Puasa adalah perisai yaitu sebuah tameng dan benteng seorang muslim dari azab api neraka. Dalil dari makna ini adalah:
1.Berdasarkan hadis shahih dari Utsman bin Abil-‘Ash radhiyallahu’anhu bahwa
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لاتقلا نم مكدحأ ةنجك رانلا نم ةنج مايصلا
Artinya: “Puasa adalah perisai dari neraka, seperti perisai salah seorang diantara kamu dari peperangan”. (HR Ahmad: 16278, Nasai: 4/167, dan Ibnu Majah: 1639, dengan sanad shahih).
(lihat: Al-Masaalik Fi Syarh Muwaththa’ –Ibnul’Arabi Al-Maliki : 4/236, Syarh
Shahih Bukhari –Ibnu Bath-thal 4/8, dan At-Tamhid –Ibnu Abdil-Barr 19/54).
2.Dalam Kitabnya Jami’ Al-‘Ulum (hal.576) Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah berkomentar dengan komentar yang indah: “Bila puasa adalah perisai dirinya dari berbagai maksiat (ketika didunia), maka diakhirat kelak, puasa tersebut lebih pantas menjadi perisainya dari azab neraka, namun apabila puasa tersebut tidak bisa menjadi perisai baginya dari maksiat ketika didunia, maka lebih-lebih lagi tidak akan menjadi perisai dirinya dari api neraka diakhirat kelak”.
Ketiga: Puasa adalah perisai dan tameng dari berbagai musibah dan bencana. Ini merupakan kesimpulan dari dalil: hadis yang dinukil oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir bahwa Ibnu Najjaar meriwayatkan dari Hafshah dan Aisyah radhiyallahu’anhuma bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:
Artinya: “Sesungguhnya puasa adalah perisai dari api neraka, dan perisai dari musibah dan bencana zaman”.
As-Suyuthi berkata: “Diriwayatkan oleh Ibnu Najjar” dan menandainya sebagai hadis
Dhoif. (lihat: Faidh Al-Qadir: 5059 dan At-Tanwir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir:
5042).
Walaupun hadis ini dhoif, bahkan munkar, namun makna dan kandungannya benar, sebab semua jenis ibadah bisa membentengi seseorang dari berbagai bencana dan musibah. Allah ta’ala berfirman:
Artinya: Dan musibah apa pun yang menimpa kalian adalah karena perbuatan- perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahanmu). (QS Asy Syura; 30).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa penyebab turunnya bencana adalah dosa dan maksiat, juga mengindikasikan bahwa ibadah dan kebaikan pasti akan menolak bala dan berbagai bencana dan musibah.
Mengenai keutamaan puasa sebagai perisai ini, merupakan sebuah keutamaan yang agung dan besar bagi setiap orang yang berpuasa, oleh sebab itu tidak heran bila Al-‘Allaamah Ash-Shan’ani rahimahullah menukil dari Imam Ibnu Abdil-Barr rahimahullah bahwa beliau berkata: “Cukuplah ini (puasa adalah perisai) sebagai karunia dan keutamaan bagi orang yang berpuasa, selama ia tidak mencoreng puasanya (mengurangi pahalanya) dengan ghibah dan dusta”. (At-Tanwir Syarh Al- Jami’ Ash-Shaghir 7/89). Ini senada dengan hadis dengan sanad hasan HR Ahmad
(1/195) dan Nasai (4/167) dari Abi Ubaidah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Puasa adalah perisai selama orang yang berpuasa tidak melobanginya (mencoreng puasanya dengan ucapan kotor, ghibah, dan dusta)”.
Catatan: Oleh karena itu para salaf begitu hati-hati dari ghibah dan dusta ketika berpuasa. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata: “Ghibah itu melobangi/mencoreng pahala puasa, dan ucapan istighfar menambal pahalanya, maka barangsiapa diantara kamu yang sanggup melakukan puasa yang tidak terlobangi maka hendaknya ia melakukannya” (HR Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman: 3644).
Hal ini juga senada dengan ucapan Ibnu Al-Munkadir sebagaimana dinukil Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulum (hal.575) bahwa ia berkata: “Orang yang berpuasa bila menggunjing orang lain, maka puasanya terlobangi, dan bila beristighfar memohon ampunan, maka lobang tersebut akan tertambal”.