Syahdunya puasa ramadhan

Setiap umat memiliki fase-fase sejarah dan peristiwa “sakral” lagi penting yang diperingati dengan cara-cara tertentu, karena masing-masing memandang bahwa peristiwa penting tersebut titik atau persimpangan yang membawa perubahan dalam perjalanan sejarahnya. Umat Islam juga demikian  ia melewati sejarah perjalanan umat manusia secara umum, diantaranya adalah sejarah peristiwa turunnya Al-Qur’an Al-Karim, sebagai kitab yang manusia tidak akan mendapati sepertinya, dan sama sekali tidak memiliki tandingan.

Alloh telah menghendaki Al-Qur’an ini diturunkan pada bulan Ramadhan (bulan ke 9 dari kalender Hijriyah), sebagaimana dalam firmannya:

“Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an” (Q.S. Al-Baqarah : 185)

Karena turunya Al-Qur’an merupakan suatu karunia besar, maka kewajiban kita terhadap karunia tersebut adalah menghaturkan rasa syukur kepada Rabb subhanahuwata’ala, yaitu diantaranya dengan mengerjakan amal shalih, sehingga berangkat dari sinilah umat islam melakukan ibadah puasa dalam bulan ramadhan sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah-Nya, dan pelaksanaan yang diwajibkan atas mereka.

Puasa Ramadhan ini diwajibkan setiap tahun atas setiap muslim dan muslimah (selain wanita haid dan nifas), yang dewasa dan berakal. Alloh Ta’ala berfirman,

“Wahai orang–orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah:183)

Ayat ini mengisyaratkan secara gamblang tentang hikmah dan tujuan utama syariat puasa ini yaitu agar meraih sifat taqwa, ketaqwaan ini tempatnya ada didalam hati dan merupakan pendorong seorang hamba untuk mengerjakan amal sholih dan menjauhi hal-hal selainnya. Ibadah puasa ini telah dimasukkan oleh Rasulalloh SAW sebagai salah satu rukun islam terbesar sebagaimana dalam sabdanya: “Islam ini dibangun diatas lima perkara: kesaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, mendirikan sholat, membayar zakat, menuanaikan haji dan melaksanakan puasa Ramadhan.”

Karena faktor kondisi seorang hamba yang kadang mendapatkan berbagai halangan dalam hidupnya, maka Allah membolehkan bagi setiap muslim atau muslimah untuk tidak berpuasa bila berada dalam kondisi tersebut yang menyulitkan dirinya bila berpuasa, dengan syarat mengganti puasa yang ditinggalkannya tersebut pada hari-hari lain diluar Ramadhan. Diantara kondisi atau halangan tersebut adalah kondisi safar atau sakit. Orang yang safar atau sakit dibolehkan baginya untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan, namun ia harus mengganti puasanya tersebut diwaktu lain yang ia kehendaki, sebab Allah menginginkan adanya kemudahan bagi umat islam, dan tidak menginginkan kesulitan, sebagaimana firman-Nya:

 

 

Artinya : “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS Al-Baqarah: 185)

 

Definisi puasa ini adalah menahan diri dari pembatal-pembatal puasa sejak azan shalat subuh (terbitnya fajar kedua) hingga terbenamnya matahari. Pembatal-pembatal utama puasa ada 3 yaitu: makan, minum, dan jimak. Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk menahan diri dari 3 pembatal ini selama siang hari bulan Ramadhan hingga terbenamnya matahari pada hari itu. Kemudian setelah itu dibolehkan baginya untuk makan, minum atau melakukan jimak hingga waktu azan shalat subuh keesokan harinya, dan demikian seterusnya hingga Ramadhan berakhir.

 

Selain  memiliki  keutamaan  memenuhi  perintah Allah,  puasa  juga  memiliki keutamaan lain yaitu berupa adanya fadhilah besar dan pahala yang banyak dalam mengerjakannya, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

 

 

Artinya:  “Barangsiapa  yang berpuasa (di Bulan)  Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan (pahala dan keridhaan Allah), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Makna “keimanan” dalam hadis ini adalah keyakinan bahwa Allah benar-benar telah mewajibkannya, dan makna “mengharapkan pahala” adalah bahwa ia berpuasa hanya dengan tujuan mengharapkan pahala dan keridhaan Allah semata. Sungguh betapa besar fadhilah puasa ini, sehingga segala maksiat, dosa, dan kelalaian yang pernah  dilakukan  seorang  muslim  sebelumnya  Allah  pasti  mengampuninya  jika

 

konsisten   dalam   mengerjakan   puasa   ramadhan   dengan   penuh   keimanan   dan mengharapkan pahala dan keridhaan Allah.

 

Karena tujuan utama puasa ini adalah mewujudkan hakikat taqwa maka Allah ta’ala telah menganjurkan umat islam agar membekali diri dengan banyak amal shalih terkhusus lagi dalam bulan Ramadhan ini, sehingga Dia pun mensyariatkan adanya shalat malam (tarawih) yang dikerjakan dalam malam-malam Ramadhan, dan memotivasi mereka untuk melaksanakannya, Rasulullah bersabda:

 

Artinya: “Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”.(HR Bukhari dan Muslim.)

 

Dianjurkan pula untuk mengerjakan amalan-amalan shalih lainnya semisal sedekah, bacaan Al-Quran dengan tadabbur, banyak membaca tasbih (subhaanallaah), tahmid (Alhamdulillah), tahlil (laailaaha illallaah), takbir (allaahu akbar), dan istighfar (astaghfirullah), serta berbuat baik kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Sebaliknya,   Rasulullah   shallallahu’alaihi   wasallam   juga   memperingatkan   dari amalan-amalan yang buruk dan tercela sebagaimana dalam sabda Rasulullah: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia meninggalkan makan dan minumnya.”( HR Bukhari)  Beliau juga bersabda: Puasa itu   adalah   benteng,   maka   apabila   suatu   hari   seorang   dari   kalian   sedang melaksanakan puasa, maka janganlah dia berkata rafats (kotor) dan   jangan pula bertengkar   sambil   berteriak.   Jika   ada   orang   lain   yang   menghinanya   atau mengajaknya berkelahi maka hendaklah dia mengatakan ‘Aku orang yang sedang puasa’.( HR Bukhari)

 

Akhlak yang dilarang dalam hadis-hadis ini sangat dilarang oleh islam baik di dalam   atau   diluar   bulan   Ramadhan,   namun   larangan-larangan   tersebut   lebih dipertegas lagi bila berada dalam bulan Ramadhan.

 

Allah ta’ala telah membuka pintu kebaikan lainnya secara lebar-lebar kepada semua hamba-Nya yang beriman dengan mensyariatkan puasa-puasa sunat sepanjang tahun selain dua hari raya; idul fitri dan idul adha, dan Dia menganjurkan mereka agar senantiasa mengerjakannya tanpa mewajibkannya sebagaimana dalam hadis: “Barangsiapa yang berpuasa   di jalan Allah karena Allah, niscaya Allah jauhkan dirinya dari neraka sejauh 70 tahun perjalanan.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Olehnya itu, seorang muslim hendaknya berusaha mengerjakan sebagian puasa- puasa sunat ini agar bisa mendapatkan banyak pahala dan membina dirinya agar banyak beribadah.

 

 

 

Sesungguhnya ibadah puasa sangat membina kepribadian seorang muslim, memperbaiki akhlaknya, mendekatkan hatinya kepada Allah, dan menanamkan dalam dirinya satu perkara yang sangat urgen yaitu sikap muraaqabah atau selalu merasa terawasi oleh Allah ta’ala, karena tatkala puasa seorang muslim tidak diketahui oleh siapapun sehingga ia bisa saja makan dan minum tanpa diketahui orang lain, namun ia tidak melakukannya dan rela bersabar menahan diri dari rasa lapar dan dahaga karena yakin bahwa Allah senantiasa mengawasi dan melihatnya, semua ini ia lakukan demi meraih  keridhaan  Allah  semata.  Sikap  inilah  yang  diharapkan  ada  pada  setiap manusia, yaitu melakukan pengawasan terhadap diri sendiri dengan merasa bahwa Allah selalu mengawasi dirinya, sehingga ia pun bisa menjadi manusia yang taat beribadah dan berakhlak baik tanpa paksaan dari siapapun.

 

Sebelum mengakhiri pembahasan puasa ini, kami mesti mengisyaratkan suatu hal yang merupakan satu fadhilah agung, karunia besar dan hadiah Allah ta’ala yang dikaruniakan kepada umat islam sebagaimana yang Dia firmankan dalam Kitabnya:

 

Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemulian. Dan tahukan kamu apakah malam kemuliaan itu ?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.”(Q.S. Al-Qodr:1-3)

 

Lailatul-Qadr ini adalah malam diturunkannya Al-Quran, sehingga Allah pun mengistimewakannya dengan melipat gandakan pahala amalan yang dilakukan pada malam itu sebanyak pahala 1.000 bulan (lebih dari 83 tahun), atau dengan kata lain; barangsiapa  yang  mengerjakan  satu  amalan  shalih  pada  malam  itu  maka  pahala amalan itu lebih banyak dari pada amalan sepertinya yang dilakukan diluar malam itu selama 83 tahun. Bahkan dalam malam Lailatul-Qadr ini terdapat amalan lain yang utama sebagaimana disampaikan Rasulullah:

 

 

Artinya: “Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di malam Lailatul-Qadr dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”.( HR Bukhari dan Muslim)

 

 

Wallaahu a’lam.

*TUNTUNAN RAMADHAN: ANTARA RITUAL TAHUNAN DAN PENYUCIA JIWA (Kumpulan Tulisan dan Terjemahan Seputar Ramadhan)

 

 

 

 

 

 

error: Content is protected !!